Potensi Gen Z Indonesia: Motor Penggerak Masa Depan Bangsa
![]() |
Ilustrasi |
Jakarta,
7 Oktober 2025, LIKOK PULO – Generasi Z (Gen Z), yang lahir
antara tahun 1997 hingga 2012, kini menjadi kekuatan demografis terbesar di
Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Gen Z menyumbang
sekitar 27,94 persen dari total populasi nasional, atau lebih dari 70 juta jiwa
pada 2025. Mereka bukan hanya angka, tapi potensi emas yang siap menggerakkan
roda pembangunan bangsa menuju Indonesia Emas 2045. Di era digital yang serba
cepat, Gen Z tumbuh dengan smartphone di tangan dan dunia virtual sebagai ruang
belajar utama. Mereka melek teknologi, kreatif, dan sadar sosial—kualitas yang
membuat mereka menjadi agen perubahan. Namun, di balik potensi besar ini,
tantangan seperti pengangguran tinggi dan kesenjangan keterampilan mengintai.
Artikel ini mengupas potensi Gen Z di berbagai bidang, sambil menyoroti cara
memaksimalkannya untuk kemajuan bangsa.
Gen Z Indonesia bukan
generasi manja seperti stereotip lama. Mereka lahir di tengah transisi digital,
pandemi COVID-19, dan gejolak ekonomi global. Proyeksi BPS menunjukkan populasi
total Indonesia mencapai 275 juta jiwa pada 2025, dengan Gen Z mendominasi
kelompok usia produktif 15-24 tahun—sekitar 22 juta orang. Laporan Indonesia
Millennial and Gen Z Report 2025 dari IDN Times menggarisbawahi bahwa kelompok
usia 12-27 tahun ini memiliki daya beli signifikan, mencapai lebih dari 30
persen populasi produktif. Mereka bukan penonton pasif; Gen Z aktif membentuk
tren, dari e-commerce hingga gerakan lingkungan. Potensi mereka terletak pada
kemampuan adaptasi cepat terhadap teknologi, yang bisa menjadi lokomotif utama
bonus demografi Indonesia.
Potensi
Ekonomi: Inovator Digital dan Penggerak UMKM
Salah satu potensi
terbesar Gen Z adalah di sektor ekonomi digital. NielsenIQ mencatat bahwa Gen Z
berkontribusi 25-30 persen transaksi e-commerce di Indonesia, terutama di
kategori fashion, makanan-minuman, dan gadget. Pada 2025, nilai transaksi
e-commerce nasional diproyeksikan mencapai Rp 500 triliun, dengan Gen Z sebagai
motor utama. Mereka tidak hanya konsumen, tapi juga kreator: ribuan anak muda
usia 18-25 tahun sukses sebagai content creator, menghasilkan pendapatan dari
platform seperti TikTok dan Instagram. Menurut Direktorat Jenderal Aplikasi
Informatika, Gen Z paling banyak memanfaatkan layanan berbasis AI—sekitar 43,7
persen dari mereka menggunakan tools seperti ChatGPT untuk inovasi bisnis.
Kontribusi ini terlihat
jelas dalam pemberdayaan UMKM. Gen Z mendorong digitalisasi usaha kecil melalui
gig economy dan startup. Laporan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika
menyebut Gen Z dan UMKM digital sebagai "motor ekonomi baru Indonesia".
Mereka menciptakan aplikasi lokal, seperti platform jual-beli berkelanjutan,
yang tidak hanya menyerap tenaga kerja tapi juga meningkatkan ekspor digital.
Di tengah side hustle yang wajib—seperti freelance desain atau dropshipping—Gen
Z berpotensi menambah PDB nasional hingga 2-3 persen per tahun melalui ekonomi
kreatif. Bayangkan: dengan 70 juta jiwa, jika 10 persen saja terlibat dalam
kewirausahaan digital, itu berarti jutaan lapangan kerja baru.
Potensi ini juga
terungkap dalam tren konsumsi 2025. QASA Insights memprediksi Gen Z akan
mendominasi pasar dengan preferensi berkelanjutan—mereka lebih memilih brand
ramah lingkungan. Strategi FOMO (Fear of Missing Out) di media sosial menjadi
senjata ampuh untuk ledakan penjualan jangka pendek, tapi Gen Z justru mendorong
model bisnis jangka panjang yang etis. Di sisi lain, pajak.go.id menyoroti
bahwa kesadaran pajak Gen Z masih rendah, meski potensi ekonominya besar.
Dengan side hustle seperti content creation, mereka bisa jadi tulang punggung
pendapatan negara jika dididik soal literasi finansial.
Potensi
Sosial dan Lingkungan: Agen Perubahan yang Sadar
Gen Z bukan hanya soal
uang; mereka adalah generasi yang peduli isu sosial dan lingkungan. Partisipasi
mereka sebagai relawan mencapai puncak pada 2025, dengan total populasi 275
juta jiwa menjadikan mereka komposisi utama gerakan masyarakat sipil. Dari
kampanye anti-plastik sekali pakai hingga aksi solidaritas untuk korban
bencana, Gen Z menggunakan platform digital untuk mobilisasi massal. Di X
(sebelumnya Twitter), diskusi tentang potensi Gen Z sering menyoroti peran
mereka dalam gerakan sosial global, menuntut demokrasi yang lebih inklusif.
Secara lingkungan, Gen Z
memimpin transisi hijau. Mereka mendukung ekonomi sirkular melalui inovasi
seperti upcycling sampah menjadi produk fashion. Laporan BPS menunjukkan bahwa
Gen Z lebih resilien terhadap tantangan iklim, dengan 60 persen dari mereka
terlibat dalam komunitas online untuk konservasi. Potensi ini krusial bagi
Indonesia, negara kepulauan yang rentan banjir dan kekeringan. Di bidang
sosial, Gen Z mendorong inklusi: dari kampanye anti-bullying di sekolah.
Dokumenter CNA Singapura tentang nasib Gen Z Indonesia menyoroti tantangan
mereka, tapi juga ketangguhan dalam membangun komunitas virtual yang solid.
Lebih lanjut, potensi
sosial Gen Z terlihat dalam literasi digital mereka. Mereka tumbuh di era
pasca-1998 yang lebih damai dibanding generasi milenial, sehingga perspektif
mereka lebih optimis terhadap perubahan. Postingan di X menekankan bahwa Gen Z
lahir di masa peralihan teknologi, membuat mereka adaptif terhadap disrupsi
seperti AI. Namun, ini juga berarti mereka harus menguasai 10 keterampilan masa
depan: analytical thinking, resilience, flexibility, dan agility, seperti yang
diungkapkan pakar pendidikan Arif Nuryanta.
Potensi
Politik: Pemilih Kritis Menuju 2029
Tahun 2029 akan menjadi
momen krusial bagi Gen Z, ketika seluruh kelompok usia 17-32 tahun—termasuk
yang lahir 2012—memiliki hak suara penuh. Dengan jumlah dominan, mereka bisa
mengubah lanskap politik Indonesia. Data demografi menunjukkan Gen Z sebagai
kelompok pemilih terbesar, mendorong transparansi dan akuntabilitas. Kunjungan
kandidat ke sekolah menengah sudah dimulai, tapi PR bagi orang tua dan guru
adalah membentuk pemikiran kritis.
Gen Z bukan generasi
apatis; mereka aktif di politik digital. Dari petisi online hingga boikot brand
korup, mereka menuntut pemimpin yang autentik. Seminar nasional seperti
"Refleksi Delapan Dekade dan Proyeksi Indonesia 2045" menegaskan
bahwa Gen Z berpotensi sebagai katalis perubahan demokrasi, dengan literasi
digital sebagai senjata utama. Namun, tantangan pengangguran—9,9 juta jiwa pada
2024—bisa jadi bom waktu bonus demografi jika tak ditangani.
Tantangan
dan Solusi: Mengoptimalkan Potensi
Meski potensial, Gen Z
menghadapi rintangan serius. Survei Angkatan Kerja Nasional 2025 menunjukkan
usia 15-24 tahun menyumbang pengangguran tertinggi, dengan minimnya soft skill
sebagai penghambat utama. Gen Z sering ditolak rekrutmen karena defisit life
skill, seperti komunikasi dan adaptasi kerja. Ekonomi sulit membuat mereka umur
30 masih ngontrak, berbeda dengan generasi sebelumnya. Postingan motivasi di X
mengingatkan: "Ini bukan karena malas, tapi permainan yang
berubah—inflasi, ekonomi digital, dunia yang tak tidur."
Solusi ada di pendidikan
dan kebijakan. Pemerintah harus perkuat vokasi digital dan soft skill training.
Swasta bisa kolaborasi untuk magang berbayar. Gen Z sendiri perlu fokus pada
keterampilan masa depan, sambil membangun jaringan. Dengan demikian, mereka tak
hanya bertahan, tapi unggul.
Kesimpulan: Gen Z,
Harapan Bangsa
Potensi Gen Z Indonesia tak terbantahkan: dari penggerak ekonomi digital hingga agen perubahan sosial-politik. Dengan 70 juta jiwa, mereka adalah bonus demografi yang bisa mewujudkan visi Presiden Prabowo untuk kemajuan inklusif. Tantangan seperti pengangguran dan skill gap harus diatasi melalui sinergi pemerintah, swasta, dan masyarakat. Seperti kata dr. Gia Pratama di X, "Kamu nggak rusak. Kamu lagi membangun di dunia yang beda." Gen Z bukan bom waktu, tapi lokomotif masa depan. Saatnya kita semua mendukung mereka—untuk Indonesia yang lebih cerah.
Komentar
Posting Komentar